Sunday, July 25, 2010

FRAKTUR MANDIBULA

FRAKTUR OS.MANDIBULARIS

I. DEFINISI
Rusaknya kontinuitas tulang mandibular yang dapat disebabkan oleh trauma baik secara langsung atau tidak langsung.

II. PATOFISIOLOGI
A. PENYEBAB FRAKTUR ADALAH TRAUMA
Fraktur patologis; fraktur yang diakibatkan oleh trauma minimal atau tanpa trauma berupa yang disebabkan oleh suatu proses., yaitu :

* Osteoporosis Imperfekta
* Osteoporosis
* Penyakit metabolik

1. TRAUMA
Trauma, yaitu benturan pada tulang. Biasanya penderita terjatuh dengan posisi dagu langsung terbentur dengan benda keras (jalanan).

TANDA DAN GEJALA

* Nyeri hebat di tempat fraktur
* Tak mampu menggerakkan dagu bawah
* Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi berubah, bengkak, kripitasi, sepsis pada fraktur terbuka, deformitas.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

* X.Ray
* Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
* Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
* CCT kalau banyak kerusakan otot.

PENATALAKSANAAN MEDIK

* Konservatif : Immobilisasi, mengistirahatkan daerah fraktur.
* Operatif : dengan pemasangan Traksi, Pen, Screw, Plate, Wire ( tindakan Asbarg)

RENCANA KEPERAWATAN
Prioritas Masalah

* Mengatasi perdarahan
* Mengatasi nyeri
* Mencegah komplikasi
* Memberi informasi tentang kondisi, prognosis, dan pengobatan

dx-mandibula1

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PEMASANGAN CVP

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PEMASANGAN CVP

I. PENGERTIAN
Tekanan vena central (central venous pressure) adalah tekanan darah di AKa atau vena kava. Ini memberikan informasi tentang tiga parameter volume darah, keefektifan jantung sebagai pompa, dan tonus vaskular. Tekanan vena central dibedakan dari tekanan vena perifer, yang dapat merefleksikan hanya tekanan lokal.

II. LOKASI PEMANTAUAN

* Vena Jugularis interna kanan atau kiri (lebih umum pada kanan)
* Vena subklavia kanan atau kiri, tetapi duktus toraks rendah pada kanan
* Vena brakialis, yang mungkin tertekuk dan berkembang menjadi phlebitis
* Lumen proksimal kateter arteri pulmonalis, di atrium kanan atau tepat di atas vena kava superior

III. INDIKASI DAN PENGGUNAAN

* Pengukuran tekanan vena sentral (CVP).
* Pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium.
* Pengukuran oksigenasi vena sentral.
* Nutrisi parenteral dan pemberian cairan hipertonik atau cairan yang mengiritasi yang perlu pengenceran segera dalam sistem sirkulasi.
* Pemberian obat vasoaktif per drip (tetesan) dan obat inotropik.
* Sebagai jalan masuk vena bila semua tempat IV lainnya telah lemah.

IV. KOMPLIKASI
Adapun komplikasi dari pemasangan kanulasi CVP antara lain :

* Nyeri dan inflamasi pada lokasi penusukan.
* Bekuan darah karena tertekuknya kateter.
* Perdarahan : ekimosis atau perdarahan besar bila jarum terlepas.
* Tromboplebitis (emboli thrombus,emboli udara, sepsis).
* Microshock.
* Disritmia jantung

V. PENGKAJIAN
Yang perlu dikaji pada pasien yang terpasang CVP adalah tanda-tanda komplikasi yang ditimbulkan oleh pemasangan alat.

* Keluhan nyeri, napas sesak, rasa tidak nyaman.
* Keluhan verbal adanya kelelahan atau kelemahan.
* Frekuensi napas, suara napas
* Tanda kemerahan / pus pada lokasi pemasangan.
* Adanya gumpalan darah / gelembung udara pada cateter
* Kesesuaian posisi jalur infus set
* Tanda-tanda vital, perfusi
* Tekanan CVP
* Intake dan out put
* ECG Monitor

VI. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan aktivitas berhubungan dengan pemasangan kateter vena central
Kriteria pengkajian focus :

* Kelemahan, kelelahan.
* Perubahan tanda vital, adanya disritmia.
* Dispnea.
* Pucat
* Berkeringat.

VII. TUJUAN ASUHAN KEPERAWATAN
Pasien akan mencapai peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur, dibuktikan oleh menurunnya kelemahan dan kelelahan dan tanda vital DBN selama aktivitas.

VIII. INTERVENSI

* Periksa tanda vital sebelum dan segera setelah aktivitas.

Rasionalisasi : Hipotensi ortostatik dapat terjadi dengan aktivitas.

* Catat respons kardiopulmonal terhadap aktivitas, catat takikardi, disritmia, dispnea, berkeringat, pucat.

Rasionalisasi : penurunan/ketidakmampuan miokardium untuk meningkatkan volume sekuncup selama aktivitas, dapat menyebabkan peningkatan segera pada frekuensi jantung dan kebutuhan oksigen, juga peningkatan kelelahan dan kelemahan.

* Kaji presipitator/penyebab kelemahan contoh nyeri.

Rasionalisasi : Nyeri dan program penuh stres jugas memerlukan energi dan menyebabkan kelemahan.

* Anjurkan latihan ROM aktif atau bila pasien tidak dapat memenuhinya lakukan ROM pasif setiap 6 jam.

Rasionalisasi : ROM dapat meningkatkan kekuatan otot, memperbaiki sirkulasi dan mengurangi rasa tidak nyaman.

* Jelaskan bahwa gangguan aktivitas adalah kondisi sementara yang diharuskan hanya selama waktu pemantauan sementara.

Rasionalisasi : Penjelasan dapat mengurangi anxietas karena rasa takut terhadap pemasangan CVP.

* Berikan bantuan dalam aktivitas perawatan diri sesuai indikasi.
* Rasionalisasi : Pemenuhan kebutuhan perawatan diri pasien tanpa mempengaruhi pemasangan CVP.

DAFTER PUSTAKA

Anna Owen, 1997. Pemantauan Perawatan Kritis. EGC. Jakarta.

Carpenito, Lynda Juall, 2000. Diagnosa Keperawatan .EGC. Jakarta.

Doenges M.E. at all, 1993. Rencana Asuhan Keperwatan. Edisi 3. EGC. Jakarta

Hudak & Gallo, 1997. Keperawatan Kritis Edisi VI Volume I. EGC. Jakarta

STROKE

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN STROKE

DEFINISI
Cedera serebrovaskular atau stroke meliputi awitan tiba-tiba defisit neurologis karena insufisiensi suplai darah ke suatu bagian dari otak. Insufisiensi suplai darah disebabkan oleh trombus, biasanya sekunder terhadap arterisklerosis, terhadap embolisme berasal dari tempat lain dalam tubuh, atau terhadap perdarahan akibat ruptur arteri (aneurisma)(Lynda Juall Carpenito, 1995).

Menurut WHO. (1989) Stroke adalah disfungsi neurologi akut yang disebabkan oleh gangguan aliran darah yang timbul secara mendadak dengan tanda dan gejala sesuai dengan daerah fokal pada otak yang terganggu.

ETIOLOGI
Beberapa keadaan dibawah ini dapat menyebabkan stroke antara lain :
1. Thrombosis Cerebral.
Thrombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapa menimbulkan oedema dan kongesti di sekitarnya.Thrombosis biasanya terjadi pada orang tua yang sedang tidur atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan iskemi serebral.Tanda dan gejala neurologis seringkali memburuk pada 48 jam sete;ah thrombosis.

Beberapa keadaandibawah ini dapat menyebabkan thrombosis otak :
a. Atherosklerosis
Atherosklerosis adalah mengerasnya pembuluh darah serta berkurangnya kelenturan atau elastisitas dinding pembuluh darah. Manifestasi klinis atherosklerosis bermacam-macam. Kerusakan dapat terjadi melalui mekanisme berikut :
- Lumen arteri menyempit dan mengakibatkan berkurangnya aliran darah.
- Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadi thrombosis.
-.Merupakan tempat terbentuknya thrombus, kemudian melepaskan kepingan thrombus (embolus)
- Dinding arteri menjadi lemah dan terjadi aneurisma kemudian robek dan terjadi perdarahan.

b. Hypercoagulasi pada polysitemia
Darah bertambah kental , peningkatan viskositas /hematokrit meningkat dapat melambatkan aliran darah serebral.
c. Arteritis( radang pada arteri )

2. Emboli
Emboli serebral merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh bekuan darah, lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari thrombus di jantung yang terlepas dan menyumbat sistem arteri serebral. Emboli tersebut berlangsung cepat dan gejala timbul kurang dari 10-30 detik. Beberapa keadaan dibawah ini dapat menimbulkan emboli :
a. Katup-katup jantung yang rusak akibat Rheumatik Heart Desease.(RHD)
b. Myokard infark
c. Fibrilasi,. Keadaan aritmia menyebabkan berbagai bentuk pengosongan ventrikel sehingga darah terbentuk gumpalan kecil dan sewaktu-waktu kosong sama sekali dengan mengeluarkan embolus-embolus kecil.
d. Endokarditis oleh bakteri dan non bakteri, menyebabkan terbentuknya gumpalan-gumpalan pada endocardium.

3. Haemorhagi
Perdarahan intrakranial atau intraserebral termasuk perdarahan dalam ruang subarachnoid atau kedalam jaringan otak sendiri. Perdarahan ini dapat terjadi karena atherosklerosis dan hypertensi. Akibat pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan perembesan darah kedalam parenkim otak yang dapat mengakibatkan penekanan, pergeseran dan pemisahan jaringan otak yang berdekatan ,sehingga otak akan membengkak, jaringan otak tertekan, sehingga terjadi infark otak, oedema, dan mungkin herniasi otak.

Penyebab perdarahan otak yang paling lazim terjadi :
a. Aneurisma Berry,biasanya defek kongenital.
b. Aneurisma fusiformis dari atherosklerosis.
c. Aneurisma myocotik dari vaskulitis nekrose dan emboli septis.
d. Malformasi arteriovenous, terjadi hubungan persambungan pembuluh darah arteri, sehingga darah arteri langsung masuk vena.
e. Ruptur arteriol serebral, akibat hipertensi yang menimbulkan penebalan dan degenerasi pembuluh darah.

4. Hypoksia Umum
a. Hipertensi yang parah.
b. Cardiac Pulmonary Arrest
c. Cardiac output turun akibat aritmia

5. Hipoksia setempat
a. Spasme arteri serebral , yang disertai perdarahan subarachnoid.
b. Vasokontriksi arteri otak disertai sakit kepala migrain.

FAKTOR RESIKO
Faktor-faktor resiko stroke dapat dikelompokan sebagai berikut ::
1. Akibat adanya kerusakan pada arteri, yairtu usia, hipertensi dan DM.
2. Penyebab timbulnya thrombosis, polisitemia.
3. Penyebab emboli MCI. Kelainan katup, heart tidak teratur atau jenis penyakit jantung lainnya.
4. Penyebab haemorhagic, tekanan darah terlalu tinggi, aneurisma pada arteri dan penurunan faktor pembekuan darah (leukemia, pengobatan dengan anti koagulan )
5. Bukti-bukti yang menyatakan telah terjadi kerusakan pembuluh darah arteri sebelumnya : penyakit jantung angina, TIA., suplai darah menurun pada ektremitas.

Dari hasil data penelitian di Oxford,Inggris bahwa penduduk yang mengalami stroke disebabkan kondisi-kondisi sebagai berikut :
1. Tekanan darah tinggi tetapi tidak diketahui 50-60%
2. Iskemik Heart Attack 30%
3. TIA 24%
4. Penyakit arteri lain 23%
5. Heart Beat tidak teratur 14%
6. DM 9%
Kemudian ada yang menunjukan bahwa yang selama ini dianggap berperan dalam meningkatkan prevalensi stroke ternyata tidak ditemukan pada penelitian tersebut diantaranya, adalah:
1. Merokok, memang merokok dapat merusak arteri tetapi tidak ada bukti kaitan antara keduanya itu.
2. Latihan, orang mengatakan bahwa latihan dapat mengurangi resiko terjadinya stroke. Namun dalam penelitian tersebut tidak ada bukti yang menyatakan hal tersebut berkaitan secara langsung. Walaupun memang latihan yang terlalu berat dapat menimbulkan MCI.
3. Seks dan seksual intercouse, pria dan wanita mempunyai resiko yang sama terkena serangan stroke tetapi untuk MCI jelas pria lebih banyak daripada wanita.
4. Obesitas. Dinyatakan kegemukan menimbulkan resiko yang lebih besar, namun tidak ada bukti secara medis yang menyatakan hal ini.
5. Riwayat keluarga.

Klasifikasi:

1.Stroke dapat diklasifikasikan menurut patologi dan gejala kliniknya, yaitu :
a. Stroke Haemorhagi,
Merupakan perdarahan serebral dan mungkin perdarahan subarachnoid. Disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada daerah otak tertentu. Biasanya kejadiannya saat melakukan aktivitas atau saat aktif, namun bisa juga terjadi saat istirahat. Kesadaran pasien umumnya menurun.
b. Stroke Non Haemorhagic
Dapat berupa iskemia atau emboli dan thrombosis serebral, biasanya terjadi saat setelah lama beristirahat, baru bangun tidur atau di pagi hari. Tidak terjadi perdarahan namun terjadi iskemia yang menimbulkan hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder . Kesadaran umummnya baik.

2. Menurut perjalanan penyakit atau stadiumnya:
a. TIA ( Trans Iskemik Attack) gangguan neurologis setempat yang terjadi selama beberapa menit sampai beberapa jam saja. Gejala yang timbul akan hilang dengan spontan dan sempurna dalam waktu kurang dari 24 jam.
b. Stroke involusi: stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana gangguan neurologis terlihat semakin berat dan bertambah buruk. Proses dapat berjalan 24 jam atau beberapa hari.
c. Stroke komplit: dimana gangguan neurologi yang timbul sudah menetap atau permanen . Sesuai dengan istilahnya stroke komplit dapat diawali oleh serangan TIA berulang.

PATOFISIOLOGI
Infark serbral adalah berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak. Luasnya infark bergantung pada faktor-faktor seperti lokasi dan besarnya pembuluh darah dan adekuatnya sirkulasi kolateral terhadap area yang disuplai oleh pembuluh darah yang tersumbat. Suplai darah ke otak dapat berubah (makin lmbat atau cepat) pada gangguan lokal (thrombus, emboli, perdarahan dan spasme vaskuler) atau oleh karena gangguan umum (hipoksia karena gangguan paru dan jantung). Atherosklerotik sering/cenderung sebagai faktor penting terhadap ortak, thrombus dapat berasal dari flak arterosklerotik , atau darah dapat beku pada area yang stenosis, dimana aliran darah akan lambat atau terjadi turbulensi. Thrombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa sebagai emboli dalam aliran darah. Thrombus mengakibatkan ;
1. Iskemia jaringan otak yang disuplai oleh pembuluh darah yang bersangkutan.
2. Edema dan kongesti disekitar area.
Area edema ini menyebabkan disfungsi yang lebih besar daripada area infark itu sendiri. Edema dapat berkurang dalam beberapa jam atau kadang-kadang sesudah beberapa hari. Dengan berkurangnya edema pasien mulai menunjukan perbaikan,CVA. Karena thrombosis biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan masif. Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan edema dan nekrosis diikuti thrombosis. Jika terjadi septik infeksi akan meluas pada dinding pembukluh darah maka akan terjadi abses atau ensefalitis , atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat menyebabkan dilatasi aneurisma pembuluh darah. Hal iniakan me yebabkan perdarahan cerebral, jika aneurisma pecah atau ruptur. Perdarahan pada otak lebih disebabkan oleh ruptur arteriosklerotik dan hipertensi pembuluh darah.. Perdarahanintraserebral yang sangat luas akan menyebabkan kematian dibandingkan dari keseluruhan penyakit cerebro vaskuler. Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia cerebral. Perubahan disebabkan oleh anoksia serebral dapat reversibel untuk jangka waktu 4-6 menit. Perubahan irreversibel bila anoksia lebih dari 10 menit. Anoksia serebral dapat terjadi oleh karena gangguan yang bervariasi salah satunya cardiac arrest.

stroke

Perbedaan antara infark dan perdarahan otak sebagai berikut :

infark

Perbedaan Perdarahan Intra Serebral (PIS) dan Perdarahan Sub Arachnoid (PSA) :

pis

Jika dilihat bagian hemisfer yang terkena tanda dan gejala dapat berupa:1. Stroke hemisfer Kanan
a.Hemiparese sebelah kiri tubuh.
b.Penilaian buruk
c.Mempunyai kerentanan terhadap sisi kolateral sehingga kemungkinan terjatuh ke sisi yang berlawanan tersebut.
2. Stroke yang Hemifer kiri
a. Mengalami hemiparese kanan
b. Perilaku lambat dan sangat hati-hati
c. Kelainan bidang pandang sebelah kanan.
d. Disfagia global
e. Afasia
f. Mudah frustasiPEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Rontgen kepala dan medula spinalis
2. Elektro encephalografi
3. Punksi lumbal
4. Angiografi
5. Computerized Tomografi Scanning ( CT. Scan)
6. Magnetic Resonance Imaging

PENATALAKSANAAN STROKE
Untuk mengobati keadaan akut perlu diperhatikan faktor-faktor kritis sebagai berikut 1. Berusaha menstabilkan tanda-tanda vital dengan :
a. Mempertahankan saluran nafas yang paten yaitu lakukan pengisapan lendiryang sering, oksigenasi, kalau perlu lakukan trakeostomi, membantu pernafasan.
b. Mengontrol tekanan darah berdasarkan kondisi pasien, termasuk usaha memperbaiki hipotensi dan hipertensi.
1. Berusaha menemukan dan memperbaiki aritmia jantung.
2. Merawat kandung kemih, sedapat mungkin jangan memakai kateter.
3. Menempatkan pasien dalam posisi yang tepat, harus dilakukan secepat mungkin pasien harus dirubah posisi tiap 2 jam dan dilakukan latihan-latihan gerak pasif.

PENGOBATAN KONSERVATIF
1. Vasodilator meningkatkan aliran darah serebral ( ADS ) secara percobaan, tetapi maknanya :pada tubuh manusia belum dapat dibuktikan.
2. Dapat diberikan histamin, aminophilin, asetazolamid, papaverin intra arterial.
3. Anti agregasi thrombosis seperti aspirin digunakan untuk menghambat reaksi pelepasan agregasi thrombosis yang terjadi sesudah ulserasi alteroma.

PENGOBATAN PEMBEDAHAN
Tujuan utama adalah memperbaiki aliran darah serebral :
1. Endosterektomi karotis membentuk kembali arteri karotis , yaitu dengan membuka arteri karotis di leher.
2. Revaskularisasi terutama merupakan tindakan pembedahan dan manfaatnya paling dirasakan oleh pasien TIA.
3. Evaluasi bekuan darah dilakukan pada stroke akut
4. Ugasi arteri karotis komunis di leher khususnya pada aneurisma.

KOMPLIKASI
Setelah mengalami stroke pasien mungkin akan mengalmi komplikasi , komplikasi ini dapat dikelompokan berdasarkan:
1. Berhubungan dengan immobilisasi ; infeksi pernafasan, nyeri pada daerah tertekan, konstipasi dan thromboflebitis.
2. Berhubungan dengan paralisis: nyeri pada daerah punggung, dislokasi sendi, deformitas dan terjatuh
3. Berhubungan dengan kerusakan otak : epilepsi dansakit kepala.
4. Hidrocephalus

PENGKAJIAN DATA DASAR
1. Aktivitas/istirahat :
Klien akan mengalami kesulitan aktivitas akibat kelemahan, hilangnya rasa, paralisis, hemiplegi, mudah lelah, dan susah tidur.
2. Sirkulasi
Adanya riwayat penyakit jantung, MCI, katup jantung, disritmia, CHF, polisitemia. Dan hipertensi arterial.
3. Integritas Ego.
Emosi labil, respon yang tak tepat, mudah marah, kesulitan untuk mengekspresikan diri.
4. Eliminasi
Perubahan kebiasaan Bab. dan Bak. Misalnya inkoontinentia urine, anuria, distensi kandung kemih, distensi abdomen, suara usus menghilang.
5. Makanan/caitan :
Nausea, vomiting, daya sensori hilang, di lidah, pipi, tenggorokan, dysfagia
6. Neuro Sensori
Pusing, sinkope, sakit kepala, perdarahan sub arachnoid, dan intrakranial.
Kelemahan dengan berbagai tingkatan, gangguan penglihatan, kabur, dyspalopia, lapang pandang menyempit.
Hilangnya daya sensori pada bagian yang berlawanan dibagian ekstremitas dan kadang-kadang pada sisi yang sama di muka.
7. Nyaman/nyeri
Sakit kepala, perubahan tingkah laku kelemahan, tegang pada otak/muka
8. Respirasi
Ketidakmampuan menelan, batuk, melindungi jalan nafas.
Aspirasi irreguler, suara nafas, whezing,ronchi.
9. Keamanan
Sensorik motorik menurun atau hilang mudah terjadi injury.
Perubahan persepsi dan orientasi
Tidak mampu menelan sampai ketidakmampuan mengatur kebutuhan nutrisi
Tidak mampu mengambil keputusan.
10. Interaksi sosial
Gangguan dalam bicara
Ketidakmampuan berkomunikasi
11.Belajar mengajar
Pergunakan alat kontrasepsi
Pengaturan makanan
Latihan untuk pekerjaan rumah.

PRIORITAS KEPERAWATAN
1. Meningkatkan perfusi serebri dan oksigenasi yang adekuat.
2. Mencegah dan meminimalkan komplikasi dan kelumpuhan permanen.
3. Membantu pasien untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
4. Memberikan dukungan terhadap proses mekanisme jkoping dan mengintegrasikan perubahan konsep diri.
5. Memberikan informasi tentang proses penyakit, prognosis, pengobatan dan kebutuhan rehabilitasi.

TUJUAN AKHIR KEPERAWATAN
1. Meningkatnya fungsi serebral dan menurunnya defisit neurologis.
2. Mencegah/meminimalkan komplikasi.
3. Kebutuhan sehari-hari terpenuhi baik oleh dirinya maupun orang lain.
4. Mekanisme koping positip dan mampu merencanakan keadaan setelah sakit
5. Mengerti terhadap proses penyakit dan prognosis.

Diagnosa Keperawatan da Intervensi
Dx.1. Gangguan ferfusi jaringan otak berhubungan dengan oklusi otak, perdarahan, vasospasme dan edema otak
Tujuan :
1. Mempertahankan/meningkatkan tingkat kesadaran, kognitif, dan fungsi motorik sensorik
2. Menunjukan kestabilan tanda-tanda vital dan tidak adanya peningkatan TIK.
3. Menunjukan berkurangnya kerusakan/defisit.
Intervensi :
a. Tentukan faktor penyebab gangguan yang berhubungan dengan situasi individu, penyebab koma, penurunan perfusi serebral dan potensial peningkatan TIK. Penyebab menentukan intervensi yang akan dilaksanakan. Perubahan tanda-tanda neurologis atau kegagalan setelah serangan mungkin memerlukan tindakan pembedahan serta memerlukan perawatan kritis untuk memonitor TIK.
b. Monitor status neurologi dan bandingkan dengan standar. Kaji perubahan status kesadaran dan potensial terjadinya peningkatan TIK berguna untuk menentukan lokasi, penyebaran dan kerusakan syaraf kranial. Dapat pula memperkirakan peningkatan TIK yang mungkin berhubungan dengan thrombosis CVA.
c. Monitor vital sign: hipertensi atau hipotensi, bandingkan tekanan antara kedua lengan. Gejala yang bervariasi dapat terjadi karena penekanan cerebral atau adanya cedera pada area vasomotor otak. Hipertensi atau hipotensi dapat merupakan faktor pencetus,. Hipotensi dapat terjadi karena syok atau kolapsnya sirkulasi. Peningkatan TIK terjadi karena edema jaringan, atau formasi bekuan. Bendungan pada arteri subklavialdapat tejadi karena perbedaan tekanan pada kedua lengan.
d. Auskultasi denyut jantung dan irama,serta adnya murmur. Perubahan denyut jantung terutama bradikardi dapat terjadi karena kerusakan otak. Disritmia dan mur-mur karena penyakitjantung sebagai pencetus CVA (seperti stroke setelah MI atau dari disfungsi katup).
e. Amati respirasi, bentuk dan irama seperti cheyne stokes. Ketidakaturan dapat menunjukan lokasi peningkatan TIK dan membutuhkan intervensi lebih lanjut meliputi support pernafasan
f. Evaluasi pupil, amati ukuran, ketajaman dan reaksi terhadap cahaya. Reaksi pupil diatur oleh syaraf ke tiga kranial (okulomorik) yang menunjukan keutuhan batang otak.ukuran pypil menunjukan keseimbangan antara parasimpatis dan simpatis. Respon terhadap cahaya merupakan kombinasi fungsi dari sayaraf ke dua dan ketiga kranial.
g. Catat perubahan pandangan seperti pandangan kabur, gangguan lapang pandang dan persepsi pandang. Gangguan spesifik pada penglihatan dipengaruhi oleh gangguan area otak, prerasaan aman dan dampak dari intervensi.
h. Posisi kepala ditinggikan sedikit dengan posisi netral ( hanya tempat tidurnya saja yang ditinggikan ). Menurunkan tekanan artrial dengan membantu drainase vena dan dapat peningkatkan sirkulasi ferfusi cerebral.
i. Pertahankan istirahat di tempat tidur, beri lingkungan yang tenang, batasai pengunjung dan aktivitas sesuai dengan indikasi. Berikan latihan diantara periode istirahat batasi durasi pelaksanaan prosedur. Stimulasi yang terus menerus akan meningkatkan TIK. Istirahat mutlak dan ketenangan dibutuhkan untuk mencegah perdarahan kembali pada kasus haemorrhagic.
j. Cegah mengedan yang terlalu kuat, bantu dengan latihan nafas. Valvasa manuver akan meningkatkan TIK dan berisiko terjadinya perdarahan kembali.
k. Kaji adanya kaku kuduk, twitching, kelelahan, iritabilitas dan onset kejang. Merupakan indikasi iritasi meningen terutama pada perdarahan. Kejang merupakan akibat dari peningkatan TIK.
Kolaborasi :
a. Berikan oksigen bila ada indikasi
Menurunkan hipoksemia, yang dapat menyebabkan vasodilatasi cerebral dan peningkatan tekanan formasi edema.
b. Berikan pengobatan sesuai dengan indikasi
Antikoagulan seperti, warfarin sodium, heparin, antiplatelets agen atau dypridamole.
Biasa digunakan untuk meningkatkan aliran darah otak dan mencegah terjadinya embolus, kontra indikasi meliputi hipertensi karena akan meningkatkan resiko perdarahan
c. Berikan antibiotika seperti Aminocaproic acid ( amicar )
Digunakan pada kasus haemorhagic, untuk mencegah lisis bekuan darah dan perdarahan kembali.
d. Antihypertensi
Digunakan pada hyperteni kronis, karena managemen secara berlebihan akan meningkatkan perluasan kerusakan jaringan.
e. Peripheral vasodilator seperti cyclandilate, papverin, isoxsuprine
Digunakan untuk meningkatkan sirkulasi kolteral atau menurunkan vasopasme
f. Steroid, dexamethazone ( Decadon )
Digunakan untuk mengontrol edema cerebral
g. Berikan penitoin, Dilantin, Phenobarbital,
Dapat digunakan untuk mengontrol kejang atau sebagai sedative action.
h. Monitor hasil laboratorium sesuai dengan indikasi seperti prothrombin, LED.
Membantu memberikan informasi tentang fektivitas pemberian obat.

DX. 2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan keadaan neurologi muskuler kelemahan , paraestesia, flaciad, paralisis.
Tujuan :
1. Mempertahankan posisi dan fungsi optimal dengan tidak adanya kontraktur dan footdrop.
2. Mempertahankan kekuatan dan fungsi area yang sakit serta kompensasi bagian tubuh yang lain.
3. Menunjukan perilaku aktivitas yang lebih baik.
4. Mempertahankan integritas kulit.
Intervensi :
a. Kaji kemampuan fungsional otot, Klasifikasi dengan skala 0-4
Mengidentifikasi kekuatan /kelemahan dapat membantu memberi informasi yang diperlukan untuk membantu pemilihan intervensi karena tehnik yang berbeda digunakan untuk flacid dan spastis paralisis.
b. Rubah posisi tiap 2 jam, ( supinasi, sidelying ) terutama pada bagian yang sakit
Dapat menurunkan resiko iskemia jaringan injury. Sisi yang sakit biasanya kekurangan sirkulasi dan sensasi yang buruk serta lebih mudah terjadi kerusakan kulit/dekubitus.
c. Berikan posisi prone satu atau dua kali sehari jika pasien dapat mentolerir.
Memmbantu memelihara fungsi ekstensi panggul sdan membantu bernafas.
d. Mulai ROM. Aktif/pasif untuk semua ekstremitas . Snjurkan latihan meliputi latihan otot quadriceps/gluteal ekstensi, jari dan telapak tangan serta kali.
Meminimalkan atropi otot, meningkatkan sirkulasi, membantu mencegah kontraktur, menurunkan resiko hiperkalsiurea dan osteoporosis pada pasien dengan haemorhagic.
e. Sangga ekstremitas pada posisi fungsional, gunakan footboard selama periode placid paralisis, pertahankan posisi kepala netral.
Dapat mencegah kontraktur atau footdrop dan memfasilitasi pengembalian fungsi. Flaccid paralisis dapat dikurangi dengan menyangga kepala, dimana spastis
f. Gunakan segitiga penyangga lengan pada pasien dengan posisi tegak
Penggunaan segitiga penyangga lengan selama masa flaccid paralisis akan menurunkan resiko subluksasi.
g. Evaluasi penggunaan dan kebutuhan terhadap bantuan posisi dan atau pembatas selama fase spastic paralisis
Kontraktur fleksi terjadi karena otot fleksor lebih kuat dari otot ekstensor.
h. Tempatkan bantal di bawah aksila sampai lengan bawah
Mencegah abduksi bahu dan fleksi siku
i. Elevasi lengan dan tangan
Dapat meningkatkan aliran balik vena dan mencegah terjadinya formasi edema.
j. Letakan gulungan padat pada telapak tangan dengan jari-jari menggengam.
Menurunkan stimulasi fleksi jari-jari dan memelihara jari dan jempol pada posisi fungsional.
k. Pertahankan kaki pada posisi netral dengan trochanter.
Mencegah terjadinya rotasi eksternal pinggul.
l. Bantu pasien duduk jika tanda-tanda vital stabil, kecuali pada stroke haemorhagic.
Membantu menstabilkan tekanan darah, membantu memelihara ekstremitas pada posisi fungsional dan mengosongkan kandung kemih yang mengurangi terjadinya batu buli-buli dan resiko infeksi karena stasis urine
m. Observasi sisi yang sakit seperti warna, edema, atau tanda lain seperti perubahan sirkulasi.
Jaringan yang edema sangat mudah mengalami trauma, dan sembuh dengan lama.
n. Anjurkan pasien untuk membantu melatih sisi yang sakit dengan ektremitas yang sehat.
Dapat merangsang bagian yang sakit dan mengoptimalkan bagian yang sehat.
Kolaborasi :
1. Konsul dengan ahli therapi fisik, untuk latihan aktif, latihan dengan alat bantu dan ambulasi pasien.
Program secara individual akan sesuai dengan kebutuhan pasien baik dalam perbaikan deficit keseimbangan , koordinasi dan kekuatan
2. Bantu dengan stimulasi elektrik seperti TENS unit sesuai dengan indikasi.
Dapat membantu pengem,balian kekuatan otot dan peningkatan kontrol otot volunter.
3. Berikan relaksasi otot, antispasmodik sesuai dengan indikasi seperti baclopen, dantrolene.
Memperbaiki spastisitas pada sisi yang sakit.

Dx.3. Gangguan komunikasi verbal atau tulis berhubungan dengan gangguan sirkulasi cerebral, gangguan neuromuskuler, kehilangan kontrol tonus otot facial atau oral dan kelemahan secara umum.
Ditandai dengan
a. gangguan sirkulasi tidak dapat berbicara disatria, tidak mampu mengucapkan kata-kata, menyebutkan nama, tidak mampu mengidentifikasi obyek, menulis atau mengartikan bahasa.
b. Tidak mampu berkomunikasi dengan tulisan.

Tujuan :
a. Pasien dapat menunjukan pengertian terhadap masalah komunikasi
b. Mampu mengekspresikan perasaannya.
c. Mampu menggunakan bahasa isyarat.
Intervensi :
Independen
a. Kaji tipe disfungsi misalnya : pasien tidak mengerti tentang kata-kata atau masalah berbicara atau tidak mengeti bahasa sendiri.
Membantu menentukan kerusakan area pada otak dan menentukan kesulitan pasien dengan sebagian atau seluruh proses komunikasi, pasien mungkin mempunyaimasalah dalam mengartikan kata-kata 9 afasia, wernicke, area dan kerusakan pada area broca )
b.Bedakan afasia dengan dsiatria
Dapat menentukan pilihan intervensi pada tipe gangguan.
c. Dengan percakapan yang salah dan lengkap
Pasien dapat kehilangan kemampuan untuk memonitor ucapannya, komunikasinya secara tidak sadar, dengan melengkapi dapat merealisasikan pengertian pasien mengklarifikasikan asi/arti
d.Katakan untuk mengikuti perintah secara sederhana seperti tutup matamu dan lihat ke pintu
Untuk menguji afasia reseptif.
d. Perintahkan pasien untuk menyebutkan nama suatu benda yang diperlihatkan.
Menguji afasia, ekspresif, misalnya pasien dapat mengenal benda tersebut tetapi tidak mampu menyebutkan namanya.
e. Perdengarkan bunyi yang sederhana seperti “sh……cat”
Mengidentifikasi disatria komponen berbicara ( lidah, gerakan bibir, kontrol pernafasandapat mempengaruhi artikulasi dan mungkin tidak terjadinya afasia ekspresif ).
f. Suruh pasien untuk menulis nama atau kalimat pendek, bila tidak mampu untuk menulis suruh pasien untuk membaca kalimat pendek.
Menguji ketidakmampuan menulis ( agrafia ) dan deficit membaca (alexia ) yang juga merup[akan bagian dari afasia reseptif dan ekspresif.
g. Beri peringatan bahwa pasien di ruang ini mengalami gangguan berbicara, sediakan bel khusus bila perlu.
Untuk kenyamanan berhubungan dengan ketidakmampuan berkomunikasi.
h. Memilih metode komunikasi alternatif misalnya menulis pada papan tulis, menggam,bar dan mendemonstrasikan secara visual gerakan tangan.
Memberikan komunikasi dasar sesuai dengan situasi individu.
i. Antisipasi dan bantu kebutuhan klien
Membantu menurunkan frustasi oleh karena ketergantungan atau ketidakmampuan berkomunikasi.
i. Ucapkan langsung kepada klien berbicara pelan dan tenang, gunakan pertanyaan dengan jawaban ya atau tidak dan perhatikan respon klien
Mengurangi kebingungan atau kecemasan terhadap banyaknya informasi. Memajukan stimulasi komunikasi ingatan dan kata-kata.
j. Berbicara dengan nada normal dan hindari ucapan yang terlalu cepat. Berikan waktu pasien untuk berespon.
Pasien tidak dipaksa untuk mendengar, tidak menyebabkan pasien marah dan tidak menyebabkan rasa frustasi.
k. Menganjurkan pengunjung untuk berkomunikasi dengan pasien misalnya membaca surat, membicarakan keluarga.
Menurunkan isolasi sosial dan mengefektifkan komunikasi.
l. Membicarakan topik-topik tentang keluarga pekerjaan dan hobi.
Meningkatkan pengertian percakapan dan kesempatan.untuk mempraktekan ketrampilan praktis dalam berkomunikasi..
m. Perhatikan percakapan pasien dan hindari berbicara secara sepihak
Memungkinkan pasiendihargaikarena kemampuan intelektuialnya masih baik.
Kolaborasi :
Konsul ke ahli therapi bicara.
Mengkajhi kemampuan verbal individual dan sensori motorik dan fungsi kognitif untuk mengidentifikasi deficit dan kebutuhan therapi.

DX.4. Deficit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan neuromuskuler, menurunnya kekuatan dan kesadaran, kehilangan kontrol otot/koordinasi ditandai oleh kelemahan untuk ADL. Seperti makan, mandi, mengatur suhu air, melipat atau memakai pakaian.
Tujuan :
1. Pasien dapat menunjukan perubahan gaya hidup untuk kebutuhan merawat diri.
2. Pasien mampu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan tingkat kemampuan.
3. Mengidentifikasi personal/masyarakat yang dapat membantu.
Intervensi :
Independen
a. Kaji kemampuan dan tingkat penurunan dalam skala 0-4 untuk melakukan ADL.
Membantu dalam mengantisipasi dan merencanakan pertemuan kebutuhan individual.
b. Hindari apa yang tidak dapat dilakukan pasien dan bantu bila perlu.
Pasien dalam keadaan cemas dan tergantung hal ini dilakukan untuk mencegah frustasi dan harga diri klien.
c. Menyadarkan tingkah laku/sugesti tindakan pada perlindungan kelemahan. Pertahankan suport pola pikir ijinkan pasien melakukan tugas, beri feedback, positip untuk usahanya.
Pasien memerlukan empati, tetapi perlu mengetahui perawatan yang konsisten dalam menangani pasien. Sekaligus meningkatkan harga diri, memandirikan pasien dan menganjurkan pasien untuk terus mencoba.
d. Rencanakan tindakan untuk deficit penglihatan seperti tempatkan makanan dan peralatan dalam suatu tempat, dekatkan tempat tidur ke dinding.
Pasien akan mampu melihat dan memakan makanan, akan mampu melihat keluar masuknya orang ke ruangan. .
e. Tempatkan perabotan ke dinding, jauhkan dari jalan
Menjaga keamanan pasien bergerak di sekitar tempat tidur dan menurunkan resiko tertimpa perabotan.
f. Beri kesempatan untuk menolong diri seperti menggunakan kombinasi pisau garpu, sikat dengan pegangan panjang, ekstensi untuk berpijak pada lantai atau ke toilet, kursi untuk mandi.
Mengurangi ketergantungan.
g. Kaji kemmampuan komunikasi untuk Bak. Kemampuan mengunakan urinal, pispot. Antarkanke kamar mandi bila kondidisi memungkinkan.
Ketidakmampuan berkomunikasi dengan perawat dapat menimbulkan masalah pengosongan kandung kemih oleh karena masalah neurogenik.
h. Identifikasi kebiasaan Bab. anjurkan minum dan meningkatkan aktivitas
Meningkatkan latihan dan menol;ong mencegah konstipasi
Kolaboratif :
1. Pemberian supositoria dan pelumas feses/pencahar
Pertolongan utama terhadap fungsi bowell atau Bab.
2. .Konsul ke dokter therapi okupasi
Untuk mengembangkan therapi dan melelngkapi kebutuhan khusus.

DX. 5. Gangguan harga diri, berhubungan dengan biophysical, psikososial, perubahan persepsi kognitif ditandai dengan :
1. Perubahan aktual dalam struktur dan fungsi.
2. Perubahan penerimaan respon verbal dan non verbal.
3. Penilaian negatif terhadap tubuh, ketidak berdayaan dan merasa tidak ada harapan.
4. Berfokus pada penampilan, kekuatan dan fungsi masa lalu.
5. Kehilangan/ perubahan dalam pekerjaan
6. Tidak dapat menyentuh atau melihat bagian-bagian tubuh.
Tujuan :
1. Mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang terdekat tentang situasi dan perubahan yang sedang terjadi.
2. Mampu menyatakan penerimaan diri terhadap situasi.
3. Mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam konsep diri dengan cara yang akurat tanpa harga diri yang negatif.
Intervensi :
Independen.
a. Kaji perubahan dari gangguan persepsi dan hubungan dengan derajat ketidakmampuan.
Menentukan bantuan individual dalam menyusun rencana perawatan atau pemilihan intervensi.
b. Identifikasi arti dari kehilangan atau disfungsi pada pasien.
Beberapa pasien dapat menerima dan mengatur perubahan fungsi secara efektif dengan sedikit penyesuaian diri, sedangkan yang lain mempunyai kesulitan membandungkan mengenal dan mengatur kekurangan.
c. Anjurkan pasien untuk mengekspresikan perasaan termasuk hostility dan kemarahan.
Menunjukan penerimaan, membantu pasien untuk mengenaL dan mulai mmenyesuaikan dengan perasaan tersebut.
d. Catat ketika pasien menyatakan terpengaruh seperti sekarat atau mengingkari dan menyatakan inilah kematian.
Mendukung penolakan terhadap bagian tubuh atau perasaan negatif terhadap gambaran tubuh dan kemampuan yang menunjukan kebutuhan dan intervensi serta dukungan emosional.
e. Pernyataan pengakuan terhadap penolakan tubuh, mengingatkan kembali fakta kejadian tentang realitas bahwa masih dapat menggunakan sisi yang sakit dan belajar mengontrol sisi yang sehat.
Membantu pasien untuk melihat bahwa perawat menerima kedua bagian sebagai bagian dari seluruh tubuh. Mengijinkan pasien untuk merasakan adanya harapan dan mulai menerima situasi baru.
f. Bantu dan anjurkan perawatan yang baik dan memperbaiki kebiasaan
Membantu meningkatkan perasaan harga diri dan mengontrol lebih dari satu area kehidupan.
g. Anjurkan orang yang terdekat untuk mengijinkan pasien melakukan sebanyak-banyaknya hal-hal untuk dirinya.
Menghidupkan kembali perasaan kemandirian dan membantu perkembangan harga diri serta mempengaruhi proses rehabilitasi.
h. Dukung perilaku atau usaha seperti peningkatan minat atau partisipasi dalam aktivitas rehabilitasi.
Klien daspat beradaptasi terhadap perubahan dan pengertian tentang peran individu masa mendatang.
i. Dukung penggunaan alat-alat yang dapat mengadaptasikan pasien, tongkat, alat bantu jalan, tas panjang untuk kateter.
Meningkatkan kemandirian untuk membantu pemenuhan kebutuhan fisik dan menunjukan posisi untuk lebih aktif dalam kegiatan sosial.
j. Monitor gangguan tidur peningkatan kesulitan konsentrasi, lethargi, dan widhrawal.
Dapat mengindikasikan terjadinya depresi umunnya terjadi sebagai pengaruh dari stroke dimana memerlukan intervensi dan evaluasi lebih lanjut.
Kolaborasi :
Rujuk pada ahli neuro psikologi dan konseling bila ada indikasi.
Dapat memfasilitasi perubahan peran yang penting untuk perkembamgan perasaan.

DAFTAR PUSTAKA

Doengoes M. 2000, Rencana Asuhan Keperawatan “Pedoman untuk perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien.Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta

Hudak & Gallo, 1987, Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik ( terjemahan ), Edisi VI, Volume II. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta

Made Kariasa 1997. Patofisiologi Beberapa Gangguan Neurologi,,
Hand Out Kursus Keperawatan Neurologi, Fakultas Ilmu Keperawatan UI. Jakarta.

Linda Juall Carpenito, 1995, Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan, EGC, Jakarta.

Sylvia A. Price, 1995. Patofiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Edisi 4.Buku 1. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

RJP RESUSITASI JANTUNG PARU


RESUSITASI JANTUNG PARU PADA KEGAWATAN KARDIOVASKULER

I. Pendahuluan


Istilah resusitasi atau reanimasi di dalam kamus-kamus diartikan sebagai menghidupkan kembali atau memberi hidup baru. Dalam arti luas resusitasi merupakan segala bentuk usaha medis, yang dilakukan terhadap mereka yang berada dalam keadaan gawat atau kritis, untuk mencegah kematian. Kematian di dalam klinik diartikan sebagai hilangnya kesadaran dan semua refleks, disertai berhentinya pernafasan dan peredaran darah yang ireversibel. Oleh karena itu resusitasi merupakan segala usaha untuk mengembalikan fungsi sistem pernafasan, peredaran darah dan saraf, yang terhenti atau terganggu sedemikain rupa sehingga fungsinya dapat berhenti sewaktu-waktu, agar kembali menjadi normal seperti semula. Karenanya timbullah istilah “Cardio – Pumonary – Resuscitation” (CPR) yang dalam bahasa Indonesia menjadi Resusitasi Jantung Paru (RJP). (1)
Berhasil tidaknya resusitasi jantung paru tergantung pada cepat tindakan dan tepatnya teknik pelaksanaannya. Pada beberapa keadaan, tindakan resusitasi tidak dianjurkan (tidak efektif) antara lain bila henti jantung (arrest) telah berlangung lebih dari 5 menit karena biasanya kerusakan otak permanen telah terjadi, pada keganasan stadium lanjut, gagal jantung refrakter, edema paru refrakter, renjatan yang mendahului “arrest”, kelainan neurologik berat, penyakit ginjal, hati dan paru yang lanjut. (2)
Permasalahan yang sering kita hadapi, bagaimana cara menangani kegawatan kardiovaskuler lewat resusitasi jantung paru dengan tindakan dan teknik pelaksanaan yang tepat.
Tujuan penulisan ini untuk memberi jawaban pertanyaan di atas secara praktis, sehingga pembaca dapat mengenal dan melakukan resusitasi jantung paru pada kegawatan kardiovaskuler.

II. Resusitasi jantung paru pada kegawatan kardiovaskular

A. Definisi

Resusitasi mengandung arti harfiah “Menghidupkan kembali” tentunya dimaksudkan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu episode henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis. (3)

B. Klasifikasi

Resusitasi jantung paru terdiri atas 2 komponen utama yakni,

1. Bantuan hidup dasar / BHD adalah usaha yang dilakukan untuk menjaga jalan nafas (airway) tetap terbuka, menunjang pernafasan dan sirkulasi dan tanpa menggunakan alat-alat bantu. Usaha ini harus dimulai dengan mengenali secara tepat keadaan henti jantung atau henti nafas dan segera memberikan bantuan sirkulasi dan ventilasi. Usaha BHD ini bertujuan dengan cepat mempertahankan pasok oksigen ke otak, jantung dan alat-alat vital lainnya sambil menunggu pengobatan lanjutan. Pengalaman menunjukkan bahwa resusitasi jantung paru akan berhasil terutama pada keadaan “henti jantung” yang disaksikan (witnessed) dimana resusitasi segera dilakukan oleh orang yang berada di sekitar korban.

2. Bantuan hidup lanjut / BHL adalah usaha yang dilakukan setelah dilakukan usaha hidup dasar dengan memberikan obat-obatan yang dapat memperpanjang hidup pasien. (3)

3. Tunjangan Hidup Terus Menerus.

C. Etiologi henti jantung dan nafas

Beberapa penyebab henti jantung dan nafas adalah,
1. Infark miokard akut, dengan komplikasi fibrilasi ventrikel, cardiac standstill, aritmia lain, renjatan dan edema paru.
2. Emboli paru, karena adanya penyumbatan aliran darah paru.
3. Aneurisma disekans, karena kehilangan darah intravaskular.
4. Hipoksia, asidosis, karena adanya gagal jantung atau kegagalan paru berat, tenggelam, aspirasi, penyumbatan trakea, pneumothoraks, kelebihan dosis obat, kelainan susunan saraf pusat.
5. Gagal ginjal, karena hiperkalemia

Henti jantung biasanya terjadi beberapa menit setelah henti nafas. Umumnya, walaupun kegagalan pernafasan telah terjadi, denyut jantung masih dapat berlangsung terus sampai kira-kira 30 menit. Pada henti jantung, dilatasi pupil kadang-kadang tidak jelas. Dilatasi pupil mulai terjadi 45 detik setelah aliran darah ke otak terhenti dan dilatasi maksimal terjadi dalam waktu 1 menit 45 detik. Bila telah terjadi dilatasi pupil maksimal, hal ini menandakan sudah terjadi 50 % kerusakan otak irreversibel. (1)

D. Diagnosis

a. Tanda-tanda henti jantung

1. Kesadaran hilang (dalam 15 detik setelah henti jantung)
2. Tak teraba denyut arteri besar (femoralis dan karotis pada orang dewasa atau brakialis pada bayi)
3. Henti nafas atau mengap-megap (gasping)
4. Terlihat seperti mati (death like appearance)
5. Warna kulit pucat sampai kelabu
6. Pupil dilatasi (setelah 45 detik). (4)

b. Diagnosis henti jantung sudah dapat ditegakkan bila dijumpai ketidak sadaran dan tak teraba denyut arteri besar

1. Tekanan darah sistolik 50 mmHg mungkin tidak menghasilkan denyut nadi yang dapat diraba.
2. Aktivitas elektrokardiogram (EKG) mungkin terus berlanjut meskipun tidak ada kontraksi mekanis, terutama pada asfiksia.
3. Gerakan kabel EKG dapat menyerupai irama yang tidak mantap.
4. Bila ragu-ragu, mulai saja RIP. (4)

E. Penatalaksanaan henti jantung dan nafas

Resusitasi jantung paru hanya dilakukan pada penderita yang mengalami henti jantung atau henti nafas dengan hilangnya kesadaran.oleh karena itu harus selalu dimulai dengan menilai respon penderita, memastikan penderita tidak bernafas dan tidak ada pulsasi. (3) Pada penatalaksanaan resusitasi jantung paru harus diketahui antara lain, kapan resusitasi dilakukan dan kapan resusitasi tidak dilakukan.

1. Resusitasi dilakukan pada :

* Infark jantung “kecil” yang mengakibatkan “kematian listrik”
* Serangan Adams-Stokes
* Hipoksia akut
* Keracunan dan kelebihan dosis obat-obatan
* Sengatan listrik
* Refleks vagal
* Tenggelam dan kecelakaan-kecelakaan lain yang masih memberi peluang untuk hidup.

2. Resusitasi tidak dilakukan pada :

* Kematian normal, seperti yang biasa terjadi pada penyakit akut atau kronik yang berat.
* Stadium terminal suatu penyakit yang tak dapat disembuhkan lagi.
* Bila hampir dapat dipastikan bahwa fungsi serebral tidak akan pulih, yaitu sesudah ½ – 1 jam terbukti tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJP. (4)
Pada penatalaksanaan resusitasi jantung paru penilaian tahapan BHD sangat penting. Tindakan resusitasi (yaitu posisi, pembukaan jalan nafas, nafas buatan dan kompresi dada luar) dilakukan kalau memang betul dibutuhkan. Ini ditentukan penilaian yang tepat, setiap langkah ABC RJP dimulai dengan : penentuan tidak ada respons, tidak ada nafas dan tidak ada nadi. Langkah-langkah yang dilakukan dalam resusitasi jantung paru adalah sebagai berikut : (4)

A. Bantuan Hidup Dasar

1. Airway (jalan nafas)

Berhasilnya resusitasi tergantung dari cepatnya pembukaan jalan nafas. Caranya ialah segera menekuk kepala korban ke belakang sejauh mungkin, posisi terlentang kadang-kadang sudah cukup menolong karena sumbatan anatomis akibat lidah jatuh ke belakang dapat dihilangkan. Kepala harus dipertahankan dalam posisi ini.
Bila tindakan ini tidak menolong, maka rahang bawah ditarik ke depan.
Caranya ialah,

* Tarik mendibula ke depan dengan ibu jari sambil,
* Mendorong kepala ke belakang dan kemudian,
* Buka rahang bawah untuk memudahkan bernafas melalui mulut atau hidung.
* Penarikan rahang bawah paling baik dilakukan bila penolong berada pada bagian puncak kepala korban. Bila korban tidak mau bernafas spontan, penolong harus pindah ke samping korban untuk segera melakukan pernafasan buatan mulut ke mulut atau mulut ke hidung. (5, 6, 7)

2. Breathing (Pernafasan)

Dalam melakukan pernafasa mulut ke mulut penolong menggunakan satu tangan di belakang leher korban sebagai ganjalan agar kepala tetap tertarik ke belakang, tangan yang lain menutup hidung korban (dengan ibu jari dan telunjuk) sambil turut menekan dahi korban ke belakang. Penolong menghirup nafas dalam kemudian meniupkan udara ke dalam mulut korban dengan kuat. Ekspirasi korban adalah secara pasif, sambil diperhatikan gerakan dada waktu mengecil. Siklus ini diulang satu kali tiap lima detik selama pernafasan masih belum adekuat.
Pernafasan yang adekuat dinilai tiap kali tiupan oleh penolong, yaitu perhatikan :

* gerakan dada waktu membesar dan mengecil
* merasakan tahanan waktu meniup dan isi paru korban waktu mengembang
* dengan suara dan rasakan udara yang keluar waktu ekspirasi.
* Tiupan pertama ialah 4 kali tiupan cepat, penuh, tanpa menunggu paru korban mengecil sampai batas habis. (5)

3. Circulation (Sirkulasi buatan)

Sering disebut juga dengan Kompresi Jantung Luar (KJL). Henti jantung (cardiac arrest) ialah hentinya jantung dan peredaran darah secara tiba-tiba, pada seseorang yang tadinya tidak apa-apa; merupakan keadaan darurat yang paling gawat.
Sebab-sebab henti jantung :

* Afiksi dan hipoksi
* Serangan jantung
* Syok listrik
* Obat-obatan
* Reaksi sensitifitas
* Kateterasi jantung
* Anestesi. (5)
Untuk mencegah mati biologi (serebral death), pertolongan harus diberikan dalam 3 atau 4 menit setelah hilangnya sirkulasi. Bila terjadi henti jantung yang tidak terduga, maka langkah-langkah ABC dari tunjangan hidup dasar harus segera dilakukan, termasuk pernafasan dan sirkulasi buatan.

Henti jantung diketahui dari :
* Hilangnya denyut nadi pada arteri besar
* Korban tidak sadar
* Korban tampak seperti mati
* Hilangnya gerakan bernafas atau megap-megap.

Pada henti jantung yang tidak diketahui, penolong pertama-tama membuka jalan nafas dengan menarik kepala ke belakang. Bila korban tidak bernafas, segera tiup paru korban 3-5 kali lalu raba denyut a. carotis. Perabaan a. carotis lebih dianjurkan karena : (5)

1. Penolong sudah berada di daerah kepala korban untuk melakukan pernafasan buatan
2. Daerah leher biasanya terbuka, tidak perlu melepas pakaian korban
3. Arteri karotis adalah sentral dan kadang-kadang masih berdenyut sekalipun daerah perifer lainnya tidak teraba lagi.

Bila teraba kembali denyut nadi, teruskan ventilasi. Bila denyut nadi hilang atau diragukan, maka ini adalah indikasi untuk memulai sirkulasi buatan dengan kompresi jantung luar. Kompresi jantung luar harus disertai dengan pernafasan buatan. ( 5, 7)
RJPHal-hal yang harus diperhatikan dalam melakukan ABC RJP tersebut adalah,

1. RJP jangan berhenti lebih dari 5 detik dengan alasan apapun
2. Tidak perlu memindahkan penderita ke tempat yang lebih baik, kecuali bila ia sudah stabil
3. Jangan menekan prosesus xifoideus pada ujung tulang dada, karena dapat berakibat robeknya hati
4. Diantara tiap kompresi, tangan harus melepas tekanan tetapi melekat pada sternum, jari-jari jangan menekan iga korban
5. Hindarkan gerakan yang menyentak. Kompresi harus lembut, teratur dan tidak terputus
6. Perhatikan komplikasi yang mungkin karena RJP. (5)

ABC RJP dilakukan pada korban yang mengalami henti jantung dapat memberi kemungkinan beberapa hasil,

1. Korban menjadi sadar kembali
2. Korban dinyatakan mati, ini dapat disebabkan karena pertolongan RJP yang terlambat diberikan atau pertolongan tak terlambat tetapi tidak betul pelaksanaannya.
3. Korban belum dinyatakan mati dan belum timbul denyut jantung spontan. Dalam hal ini perlu diberi pertolongan lebih lanjut yaitu bantuan hidup lanjut (BHL). (4)

B. Bantuan Hidup Lanjut

1. Drugs

Setelah penilaian terhadap hasil bantuan hidup dasar, dapat diteruskan dengan bantuan hidup lanjut (korban dinyatakan belum mati dan belum timbul denyut jantung spontan), maka bantuan hidup lanjut dapat diberikan berupa obat-obatan. Obat-obatan tersebut dibagi dalam 2 golongan yaitu,

1. Penting, yaitu :
* Adrenalin
* Natrium bikarbonat
* Sulfat Atropin
* Lidokain
2. Berguna, yaitu :
* Isoproterenol
* Propanolol
* Kortikosteroid. (5)
* Natrium bikarbonat
Penting untuk melawan metabolik asidosis, diberikan iv dengan dosis awal : 1 mEq/kgBB, baik berupa bolus ataupun dalam infus setelah selama periode 10 menit. Dapat juga diberikan intrakardial, begitu sirkulasi spontan yang efektif tercapai, pemberian harus dihentikan karena bisa terjadi metabolik alkalosis, takhiaritmia dan hiperosmolalitas. Bila belum ada sirkulasi yang efektif maka ulangi lagi pemberian dengan dosis yang sama.

2. Adrenalin

Mekanisme kerja merangsang reseptor alfa dan beta, dosis yang diberikan 0,5 – 1 mg iv diulang setelh 5 menit sesuai kebutuhan dan yang perlu diperhatikan dapat meningkatkan pemakaian O2 myocard, takiaritmi, fibrilasi ventrikel.

3. Lidokain

Meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai efek antiaritmia dengan cara meningkatkan ambang stimulasi listrik dari ventrikel selama diastole. Pada dosis terapeutik biasa, tidak ada perubahan bermakna dari kontraktilitas miokard, tekanan arteri sistemik, atau periode refrakter absolut. Obat ini terutama efektif menekan iritabilitas sehingga mencegah kembalinya fibrilasi ventrikel setelah defibrilasi yang berhasil, juga efektif mengontrol denyut ventrikel prematur yang mutlti fokal dan episode takhikardi ventrikel. Dosis 50-100 mg diberikan iv sebagai bolus, pelan-pelan dan bisa diulang bila perlu. Dapat dilanjutkan dengan infus kontinu 1-3 mg.menit, biasanya tidak lebih dari 4 mg.menit, berupa lidocaine 500 ml dextrose 5 % larutan (1 mg/ml).

4. Sulfat Artopin

Mengurangi tonus vagus memudahkan konduksi atrioventrikuler dan mempercepat denyut jantung pada keadaan sinus bradikardi. Paling berguna dalam mencegah “arrest” pada keadaan sinus bradikardi sekunder karena infark miokard, terutama bila ada hipotensi. Dosis yang dianjurkan ½ mg, diberikan iv. Sebagai bolus dan diulang dalam interval 5 menit sampai tercapai denyut nadi > 60 /menit, dosis total tidak boleh melebihi 2 mg kecuali pada blok atrioventrikuler derajat 3 yang membutuhkan dosis lebih besar.

5. Isoproterenol

Merupakan obat pilihan untuk pengobatan segera (bradikardi hebat karena complete heart block). Ia diberikan dalam infus dengan jumlah 2 sampai 20 mg/menit (1-10 ml larutan dari 1 mg dalam 500 ml dectrose 5 %), dan diatur untuk meninggikan denyut jantung sampai kira-kira 60 kali/menit. Juga berguna untuk sinus bradikardi berat yang tidak berhasil diatasi dengan Atropine.

6. Propranolol

Suatu beta adrenergic blocker yang efek anti aritmianya terbukti berguna untuk kasus-kasus takhikardi ventrikel yang berulang atau fibrilasi ventrikel berulang dimana ritme jantung tidak dapat diatasi dengan Lidocaine. Dosis umumnya adalah 1 mg iv, dapat diulang sampai total 3 mg, dengan pengawasan yang ketat.

7. Kortikosteroid

Sekarang lebih disukai kortikosteroid sintetis (5 mg/kgBB methyl prednisolon sodium succinate atau 1 mg/kgBB dexamethasone fosfat) untuk pengobatan syok kardiogenik atau shock lung akibat henti jantung. Bila ada kecurigaan edema otak setelah henti jantung, 60-100 mg methyl prednisolon sodium succinate tiap 6 jam akan menguntungkan. Bila ada komplikasi paru seperti pneumonia post aspirasi, maka digunakan dexamethason fosfat 4-8 mg tiap 6 jam.

8. EKG

Diagnosis elektrokardiografis untuk mengetahui adanya fibrilasi ventrikel dan monitoring.
Fibrillation Treatment
Fibrillation Treatment
Tindakan defibrilasi untuk mengatasi fibrilasi ventrikel. Elektroda dipasang sebelah kiri putting susu kiri dan di sebelah kanan sternum atas.
Keputusan untuk mengakhiri resusitasi
Keputusan untuk memulai dan mengakhiri usaha resusitasi adalah masalah medis, tergantung pada pertimbangan penafsiran status serebral dan kardiovaskuler penderita. Kriteria terbaik adanya sirkulasi serebral dan adekuat adalah reaksi pupil, tingkat kesadaran, gerakan dan pernafasan spontan dan refleks. Keadaan tidak sadar yang dalam tanpa pernafasan spontan dan pupil tetap dilatasi 15-30 menit, biasanya menandakan kematian serebral dan usaha-usaha resusitasi selanjutnya biasanya sia-sia. Kematian jantung sangat memungkinkan terjadi bila tidak ada aktivitas elektrokardiografi ventrikuler secara berturut-turut selama 10 menit atau lebih sesudah RJP yang tepat termasuk terapi obat. (5)

III. KESIMPULAN

Resusitasi mengandung arti harfiah “Menghidupkan kembali” tentunya dimaksudkan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu episode henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis. Resusitasi jantung paru terdiri atas 2 komponen utama yakni : bantuan hidup dasar / BHD dan Bantuan hidup lanjut / BHL Usaha Bantuan Hidup Dasar bertujuan dengan cepat mempertahankan pasok oksigen ke otak, jantung dan alat-alat vital lainnya sambil menunggu pengobatan lanjutan. Bantuan hidup lanjut dengan pemberian obat-obatan untuk memperpanjang hidup Resusitasi dilakukan pada : infark jantung “kecil” yang mengakibatkan “kematian listrik”, serangan Adams-Stokes, Hipoksia akut, keracunan dan kelebihan dosis obat-obatan, sengatan listrik, refleks vagal, serta kecelakaan lain yang masih memberikan peluang untuk hidup. Resusitasi tidak dilakukan pada : kematian normal stadium terminal suatu yang tak dapat disembuhkan.
Penanganan dan tindakan cepat pada resusitasi jantung paru khususnya pada kegawatan kardiovaskuler amat penting untuk menyelematkan hidup, untuk itu perlu pengetahuan RJP yang tepat dan benar dalam pelaksanaannya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Safar P, Resusitasi Jantung Paru Otak, diterbitkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, hal : 4, 1984.
2. Alkatri J, dkk, Resusitasi Jantung Paru, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Editor Soeparman, Jilid I, ed. Ke-2, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, hal : 281, 1987.
3. Soerianata S, Resusitasi Jantung Paru, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Kardiologi, Editor Lyli Ismudiat R, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, hal : 106, 1998.
4. Sunatrio DR, Resusitasi Jantung Paru, Editor Muchtaruddin Mansyur, IDI, Jakarta, hal : 193.
5. Siahaan O, Resusitasi Jantung Paru Otak, Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus, No. 80, hal : 137-129, 1992.
6. Emergency Medicine Illustrated, Editor Tsuyoshi Sugimoto, Takeda Chemical Industries, 1985.
7. Mustafa I, dkk, Bantuan Hidup Dasar, RS Jantung Harapan Kita, Jakarta, 1996.
8. Sunatrio S, dkk, Resusitasi Jantung Paru, dalam Anesteiologi, Editor Muhardi Muhiman, dkk, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI, 1989.
9. Otto C.W., Cardiopulmonary Resuscitation, in Critical Care Practice, The American Society of Critical Care Anesthesiologists, 1994.
10. Sjamsuhidajat R, Jong Wd, Resusitasi, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta, hal : 124-119, 1997.

ASKEP PNEUMONIA PADA ANAK

PENGERTIAN PNEUMONIA

1. ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) merupakan padanan istilah : Acute Respiratory Infections (ARI).
2. ISPA mengandung 3 unsur, yaitu :
1. Infeksi.
2. Saluran pernafasan.
3. Akut.

Batasan-batasan masing-masing unsur :

a. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak, sehingga menimbulkan gejala penyakit.

b. Saluran pernafasan adalah organ yang mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura à ISPS à secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan.

c. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari (batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun ISPA dapat lebih 14 hari).

Pneumonia :

1. Pneumonia pada anak seringkali bersamaan terjadinya proses infeksi akut pada bronchus dan disebut bronchopneumonia.
2. Terjadinya pneumonia pada anak seringkali bersamaan dengan terjadinya proses infeksi akut pada bronchus (bronchopneumonia). Dalam pelaksanaan program P2 ISPA semua bentuk pneumonia (baik pneumonia maupun bronchopneumonia) disebut Pneumonia.

Pneumonia adalah merupakan infeksi akut yang secara anatomi mengenai lobus paru.

Pneumonia Berdasarkan Penyebab :

1. Pneumonia bakteri.
2. Pneumonia virus.
3. Pneumonia Jamur.
4. Pneumonia aspirasi.
5. Pneumonia hipostatik.

Pneumonia berdasarkan anatomic :

1. Pneumonia lobaris à radang paru-paru yang mengenai sebagian besar/seluruh lobus paru-paru.
2. Pneumonia lobularis (bronchopneumonia) à radang pada paru-paru yang mengenai satu/beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate.
3. Pneumonia interstitialis (bronkhiolitis) à radang pada dinding alveoli (interstitium) dan peribronkhial dan jaringan interlobular.

Patofisiologi Bronkhopneumonia :

1. Bronkhopneumonia lebih sering merupakan infeksi sekunder.
2. Keadaan yang dapat menyebabkan bronchopneumonia adalah pertusis, morbili, penyakit lain yang disertai dengan infeksi saluran pernafasan atas, gizi buruk, paska bedah atau kondisi terminal.

Etiologi :

1. Streptokokus.
2. Stapilokokus.
3. Pneumokokus.
4. Hemovirus Influenza.
5. Pseudomonas.
6. Fungus.
7. Basil colli.

Sehingga menimbulkan :

1. Reaksi radang pada bronchus dan alveolus dan sekitarnya.
2. Lumen bronkhiolus terisi eksudat dan sel epitel yang rusak.
3. Dinding bronkhiolus yang rusak mengalami fibrosis dan pelebaran.
4. Sebagian jaringan paru-paru mengalami etelektasis/kolaps alveoli, emfisema hal ini disebabkan karena menurunnya kapasitas fungsi paru dan penurunan produksi surfaktan.

Gejala Klinis :

1. Biasanya didahului infeksi saluran pernafasan bagian atas. Suhu dapat naik secara mendadak (38 – 40 ºC), dapat disertai kejang (karena demam tinggi).
2. Gejala khas :
1. Sianosis pada mulut dan hidung.
2. Sesak nafas, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung.
3. Gelisah, cepat lelah.
3. Batuk à mula-mula kering à produktif.
4. Kadang-kadang muntah dan diare, anoreksia.
5. Pemeriksaan laboratorium = lekositosis.
6. Foto thorak = bercak infiltrate pada satu lobus/beberapa lobus.

Komplikasi :

Bila tidak ditangani secara tepat à

1. Otitis media akut (OMA) à terjadi bila tidak diobati, maka sputum yang berlebihan akan masuk ke dalam tuba eustachius, sehingga menghalangi masuknya udara ke telinga tengah dan mengakibatkan hampa udara, kemudian gendang telinga akan tertarik ke dalam dan timbul efusi.
2. Efusi pleura.
3. Emfisema.
4. Meningitis.
5. Abses otak.
6. Endokarditis.
7. Osteomielitis.

Penatalaksanaan :

1. Oksigen.
2. Cairan, kalori dan elektrolit à glukosa 10 % : NaCl 0,9 % = 3 : 1 ditambah larutan KCl 10 mEq/500 ml cairan infuse.
3. Obat-obatan :
1. Antibiotika à berdasarkan etiologi.
2. Kortikosteroid à bila banyak lender.

Prognosa : dengan pemberian antibiotic yang tepat, mortalitas dapat menurun.
ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
1. Riwayat Kesehatan :

1) Adanya riwayat infeksi saluran pernafasan sebelumnya/batuk, pilek, takhipnea, demam.

2) Anoreksia, sukar menelan, muntah.

3) Riwayat penyakit yang berhubungan dengan imunitas, seperti ; morbili, pertusis, malnutrisi, imunosupresi.

4) Anggota keluarga lain yang mengalami sakit saluran pernafasan.

5) Batuk produktif, pernafasan cuping hidung, pernafasan cepat dan dangkal, gelisah, sianosis.

2. Pemeriksaan Fisik :

1) Demam, takhipnea, sianosis, cuping hidung.

2) Auskultasi paru à ronchi basah, stridor.

3) Laboratorium à lekositosis, AGD abnormal, LED meningkat.

4) Roentgen dada à abnormal (bercak konsolidasi yang tersebar pada kedua paru).

3. Faktor Psikososial/Perkembangan :

1) Usia, tingkat perkembangan.

2) Toleransi/kemampuan memahami tindakan.

3) Koping.

4) Pengalaman berpisah dengan keluarga/orang tua.

5) Pengalaman infeksi saluran pernafasan sebelumnya.

4. Pengetahuan Keluarga, Psikososial :

1) Tingkat pengetahuan keluarga tentang penyakit bronchopneumonia.

2) Pengalaman keluarga dalam menangani penyakit saluran pernafasan.

3) Kesiapan/kemauan keluarga untuk belajar merawat anaknya.

4) Koping keluarga.

5) Tingkat kecemasan.

2. Diagnosa Keperawatan

1.
1. Tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan peradangan, penumpukan secret.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane kapiler alveolus.
3. Berkurangnya volume cairan berhubungan dengan intake oral tidak adekuat, demam, takipnea.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan menurunnya kadar oksigen darah.
5. Perubahan rasa nyaman berhubungan dengan demam, dispnea, nyeri dada.
6. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi.
7. Kurangnya pengetahuan orang tua tentang perawatan anak setelah pulang dari rumah sakit.
8. Kecemasan berhubungan dengan dampak hospitalisasi.

1. Intervensi

a. Dx. : Tidak efektifnya jalan nafas berhubungan dengan peradangan, penumpukan secret.

Tujuan : Jalan nafas efektif, ventilasi paru adekuat dan tidak ada penumpukan secret.

Rencana tindakan :

1) Monitor status respiratori setiap 2 jam, kaji adanya peningkatan status pernafasan dan bunyi nafas abnormal.

2) Lakukan perkusi, vibrasi dan postural drainage setiap 4 – 6 jam.

3) Beri therapy oksigen sesuai program.

4) Bantu membatukkan sekresi/pengisapan lender.

5) Beri posisi yang nyaman yang memudahkan pasien bernafas.

6) Ciptakan lingkungan yang nyaman sehingga pasien dapat tidur tenang.

7) Monitor analisa gas darah untuk mengkaji status pernafasan.

8) Beri minum yang cukup.

9) Sediakan sputum untuk kultur/test sensitifitas.

10) Kelolaa pemberian antibiotic dan obat lain sesuai program.

b. Dx. : Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membrane kapiler alveolus.

Tujuan : Pasien memperlihatkan perbaikan ventilasi, pertukaran gas secara optimal dan oksigenasi jaringan secara adekuat.

Rencana Tindakan :

1) Observasi tingkat kesadaran, status pernafasan, tanda-tanda sianosis setiap 2 jam.

2) Beri posisi fowler/semi fowler.

3) Beri oksigen sesuai program.

4) Monitor analisa gas darah.

5) Ciptakan lingkungan yang tenang dan kenyamanan pasien.

6) Cegah terjadinya kelelahan pada pasien.

c. Dx. : Berkurangnya volume cairan berhubungan dengan intake oral tidak adekuat, demam, takipnea.

Tujuan : Pasien akan mempertahankan cairan tubuh yang normal.

Rencana Tindakan :

1) Catat intake dan out put cairan. Anjurkan ibu untuk tetaap memberi cairan peroral à hindari milk yang kental/minum yang dingin à merangsang batuk.

2) Monitor keseimbangan cairan à membrane mukosa, turgor kulit, nadi cepat, kesadaran menurun, tanda-tyanda vital.

3) Pertahankan keakuratan tetesan infuse sesuai program.

4) Lakukan oral hygiene.

d. Dx. : Intoleransi aktivitas berhubungan dengan menurunnya kadar oksigen darah.

Tujuan : Pasien dapat melakukan aktivitas sesuai kondisi.

Rencana Tindakan :

1) Kaji toleransi fisik pasien.

2) Bantu pasien dalam aktifitas dari kegiatan sehari-hari.

3) Sediakan permainan yang sesuai usia pasien dengan aktivitas yang tidak mengeluarkan energi banyak à sesuaikan aktifitas dengan kondisinya.

4) Beri O2 sesuai program.

5) Beri pemenuhan kebutuhan energi.

e. Dx. : Perubahan rasa nyaman berhubungan dengan demam, dispnea, nyeri dada.

Tujuan : Pasien akan memperlihatkan sesak dan keluhan nyeri berkurang, dapat batuk efektif dan suhu normal.

Rencana Tindakan :

1) Cek suhu setiap 4 jam, jika suhu naik beri kompres dingin.

2) Kelola pemberian antipiretik dan anlgesik serta antibiotic sesuai program.

3) Bantu pasien pada posisi yang nyaman baginya.

4) Bantu menekan dada pakai bantal saat batuk.

5) Usahakan pasien dapat istirahat/tidur yang cukup.

f. Dx. : Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi.

Tujuan : Suhu tubuh dalam batas normal.

Rencana Tindakan :

1) Observasi tanda-tanda vital setiap 2 jam.

2) Beri kompres dingin.

3) Kelola pemberian antipiretik dan antibiotic.

4) Beri minum peroral secara hati-hati, monitor keakuratan tetesan infuse.

g. Dx. : Kurangnya pengetahuan orang tua tentang perawatan anak setelah pulang dari rumah sakit.

Tujuan : Anak dapat beraktifitas secara normal dan orang tua tahu tahap-tahap yang harus diambil bila infeksi terjadi lagi.

Rencana Tindakan :

1) Kaji tingkat pengetahuan keluarga tentang perawatan anak dengan bronchopneumonia.

2) Bantu orang tua untuk mengembangkan rencana asuhan di rumah ; keseimbangan diit, istirahat dan aktifitas yang sesuai.

3) Tekankan perlunya melindungi anak kontak dengan anak lain sampai dengan status RR kembali normal.

4) Ajarkan pemberian antibiotic sesuai program.

5) Ajarkan cara mendeteksi kambuhnya penyakit.

6) Beritahu tempat yang harus dihubungi bila kambuh.

7) Beri reinforcement untuk perilaku yang positif.

h. Dx. : Kecemasan berhubungan dengan dampak hospitalisasi.

Tujuan : Kecemasan teratasi.

Rencana Tindakan :

1) Kaji tingkat kecemasan anak.

2) Fasilitasi rasa aman dengan cara ibu berperan serta merawat anaknya.

3) Dorong ibu untuk selalu mensupport anaknya dengan cara ibu selalu berada di dekat anaknya.

4) Jelaskan dengan bahasa sederhana tentang tindakan yang dilakukan à tujuan, manfaat, bagaimana dia merasakannya.

5) Beri reinforcement untuk perilaku yang positif.

1. Implementasi

Prinsip implementasi :

1. Observasi status pernafasan seperti bunyi nafas dan frekuensi setiap 2 jam, lakukan fisioterapi dada setiap 4 – 6 jam dan lakukan pengeluaran secret melalui batuk atau pengisapan, beri O2 sesuai program.
2. Observasi status hidrasi untuk mengetahui keseimbangan intake dan out put.
3. Monitor suhu tubuh.
4. Tingkatkan istirahat pasien dan aktifitas disesuaikan dengan kondisi pasien.
5. Perlu partisipasi orang tua dalam merawat anaknya di RS.
6. Beri pengetahuan pada orang tua tentang bagaimana merawat anaknya dengan bronchopneumonia.

1. Evaluasi.

Hasil evaluasi yang ingin dicaapai :

1. Jalan nafas efektif, fungsi pernafasan baik.
2. Analisa gas darah normal.

Pages